GoodGoes

Selasa, April 09, 2013

Rokok dan Tuberkulosis

Penyakit Tuberkulosis (TB) yang umumnya menginfeksi paru ternyata erat kaitannya dengan kebiasaan merokok.
 
Mereka yang mempunyai riwayat merokok berisiko 3-4 kali lebih rentan untuk mengalami infeksi TB.
 
Berikut presentasi lengkapnya (surel dapat diklik di bawah- sumber dokter spesialis Paru) yang diambil dari peringatan Hari Tuberkulosis sedunia, di Ritz Carlton Jakarta pada 30 Maret 2013.
 
 
Dengan adanya pengetahuan tersebut, mudah-mudahan masyarakat lebih menyadari bahaya dari merokok.
 
Selain memiskinkan orang, menyebabkan penyakit pembuluh darah (resiko stroke dan penyakit jantung koroner meningkat) ternyata rokok juga menyebabkan mekanisme paru normal berkurang fungsinya. Sehingga perokok dan orang/anak yang terkena asap rokok (passive smoker) lebih mudah untuk terinfeksi TB.
 
Perusahaan rokok memang membayar mahal untuk iklan yang mencitrakan kalau rokok itu keren, identik dengan anak muda yang gaul.
 
Padahal kenyataannya yang merokok itu banyak orang miskin, yang menggunakan sebagian besar penghasilannya untuk membeli rokok (daripada membeli kebutuhan dasar atau uang sekolah anak).
 
Semakin lama kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok tentu mencemaskan para pengusaha rokok. Dengan demikian mereka mulai mengeluarkan duit lebih banyak lagi untuk promosi (lihat saja di TV iklan-iklan rokok selalu tampak keren.)
Belum lagi duit yang dikeluarkan untuk mensponsori acara musik atau olahraga, dimana banyak anak muda yang berkumpul dalam satu kesempatan.
 
Perusahaan rokok men'target' anak-anak muda yang masih labil, di mana semakin muda mereka bisa mulai mencoba rokok dan ketagihan, tentu akan sangat menguntungkan juga bagi perusahaan rokok.
 
Perusahaan rokok di Indonesia termasuk salahsatu badan usaha yang mengalami keuntungan paling besar. Sebagian besar dari keuntungan tersebut berasal dari kantong orang-orang miskin yang sudah ketagihan rokok.
 
Ironis bukan?
 
Hanya masyarakat sendiri yang bisa memutus rantai pemiskinan dengan mengatakan TIDAK pada Nikotin dan Rokok. 

Sabtu, September 22, 2012

Hampir saja tak tertolong :: Kasus near miss maternal


Hari ini, adalah hari yang bersejarah bagi pasangan Ny. F dan Tn. M

Karena hari ini adalah lahirnya bayi kembar mereka, berat 2300 gram dan 1900 gram.

Peristiwa kelahiran kedua bayi mereka dimulai dengan kejangnya Ny. F saat kehamilannya mencapai usia kehamilan cukup bulan.
Tn. M yang panik, langsung membawa istrinya ke bidan praktek terdekat (tanpa membawa apapun, hanya baju yang melekat)

Bidan praktek yang saat itu sedang menangani persalinan, langsung meninggalkan pasiennya, dan mengantar Ny. F dan suaminya Tn. M ke Puskesmas terdekat.

Di Puskesmas itu, dalam waktu 30 menit, perawat, bidan dan petugas kesehatan yang bertugas langsung memberikan penanganan.
Obat anti kejang diberikan dan stabilisasi dilakukan sebelum melakukan perujukan dengan ambulans ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).

Tim RSUD sudah mengetahui bahwa ada pasien hamil yang kejang sedang diberangkatkan ke tempat mereka bertugas.
Beberapa menit sebelum pasien sampai, bagian unit gawat darurat, kamar bersalin dan kamar operasi sudah mengetahui bahwa pasien ini membutuhkan operasi segera.

Pasien kejang dalam kehamilan membutuhkan tindakan operasi sesar segera untuk menyelamatkan janin dan juga nyawanya sendiri.

Saat ini, kabar terbaru adalah pasien sudah pulih kesadarannya setelah operasi - dan memasuki ruang perawatan ibu.

Ini bukan cerita rekaan, karena saya ada sendiri pada saat peristiwa ini terjadi.

Siang itu saya memang sedang berada di Puskesmas tempat kejadian perkara, dengan agenda kunjungan bertemu dengan kepala Puskesmas dan bidan koordinator.
Tidak lama setelah kami membicarakan agenda acara klinis untuk bulan mendatang, pasien Ny. F ini datang bersama suaminya.

Ini kehamilan yang pertama,
kata Tn. M yang baru berusia 18 tahun (!!!)

Ny. F yang juga berusia 18 tahun, datang dengan kejang, yang sebelumnya tidak pernah dialami saat kontrol kehamilan di Rumah Sakit terdekat.

Setelah pemberian dosis awal obat antikejang (Magnesium Sulfat), Puskesmas menyiapkan rujukan segera ke RSU- dan menghubungi tim RSU untuk kesiapan mereka.

Tn. M yang tidak membawa uang atau baju ganti (saya lihat ternyata kaki nya pun bahkan tidak memakai sendal/ sepatu) dianjurkan memakai Jampersal supaya semua pembiayaan ditanggung negara.

Pasien dan suami langsung berangkat dengan Puskesmas ke RSU, biaya operasi, perawatan, ambulans akan ditanggung oleh Jampersal- karena kasus ini merupakan kehamilan dengan komplikasi/ penyulit, yang memang harus ditangani pada fasilitas kesehatan setingkat RSU.

Ini mungkin salahsatu kisah sukses dari kasus maternal.

Ibu dan kedua bayinya berhasil terselamatkan.

Bapak dan keluarganya juga terbantu secara finansial dengan adanya Jampersal.

Kematian terbanyak terjadi saat sekitar persalinan atau dalam 24 jam stelahnya
(Sumber: Ronsmans & Koblinsky 2006)
Sebagian besar kasus kematian ibu terjadi sekitar masa persalinan, yang intervensi/ penanganannya sudah diketahui caranya (widely known).

Faktor kesuksesan selamat atau tidaknya Ny. F dari kematian akibat kejang ini tergantung dari banyak hal, antara lain :

1. Suami mengetahui bahwa kejang adalah tanda bahaya dalam kehamilan, sehingga langsung membawa istrinya ke bidan desa.

2. Bidan desa mengetahui bahwa kejang dalam kehamilan membutuhkan penanganan segera dan tidak mungkin menangani sendirian, sehingga merujuk ke Puskesmas.

3. Tenaga kesehatan di Puskesmas bergerak sebagai sebuah tim yang menangani kasus dengan cepat, memberikan penanganan awal dan menyiapkan rujukan ke level yang lebih tinggi (RSU).

4. Tim di RSU mengetahui kasus rujukan lebih awal, sehingga mampu menyiapkan tindakan apa yang harus dilakukan (termasuk menyiapkan kamar operasi, memanggil dokter spesialis Obgyn dst)

5. Ambulans yang membawa pasien rujukan tiba sesuai waktu, pasien didampingi bidan dari Puskesmas yang merujuk.

6. Pembiayaan dengan Jampersal membuat suami pasien tidak usah menunggu lama untuk persyaratan administrasi/ membuat keputusan segera demi menyelamatkan nyawa istri dan bayinya.

Faktor ini tidak selalu berkaitan dengan hal medis, bahkan lebih kepada teknis.

Contohnya, poin #1 , 5, dan 6 tidak berkaitan dengan kompetensi medis.

Poin #1 penting untuk disosialisasikan dalam tingkat komunitas, contohnya di mesjid, posyandu, pertemuan RT/RW, iklan layanan masyarakat (koran, TV, radio).


Distribusi kematian maternal di seluruh dunia,
dimana 90% nya terjadi di negara berkembang (Afrika & Asia)
Sumber gambar: WHO, 2010

Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia saat ini masih tertinggi di Asia Tenggara.
Seperti dilansir dalam berita VoA tanggal 22 September 2012, bahwa untuk mencapai MDGs tahun 2015, AKI di Indonesia perlu diturunkan dari 228 menjadi 102 per 100 ribu kelahiran hidup.

Berita VoA yang bertajuk 'Indonesia Akan Luncurkan Program Emas Untuk Turunkan Angka Kematian Ibu Melahirkan' meliputi sekian elemen dari sebuah sistem yang diharapkan tercipta untuk menyelamatkan ibu melahirkan dan bayi bila terjadi kegawatdaruratan.

Selain elemen tenaga medis yang kompetensinya disiapkan dengan pelatihan, fasilitas kesehatan pun diperkuat agar dapat memberikan layanan yang sesuai standar.Tak lupa proses rujukan yang efisien dan jaminan dengan Jampersal, sebagai bagian dari sistem kesehatan.

Yang penting diketahui masyarakat bahwa adanya tanda bahaya dalam kehamilan (perdarahan, kejang, panas/ demam, bau dari jalan lahir) perlu ditangani segera, sehingga ibu tidak telat dibawa ke fasilitas kesehatan.

Poin #5 berkaitan dengan kendaraan/ fasilitas untuk proses rujukan.
Fungsi Ambulans sebagai kendaraan untuk merujuk erat kaitannya dengan supir, bensin, dan juga infrastruktur jalan.

Bayangkan bila infrastruktur jalan tidak ada atau keadaan geografis yang sulit (seperti di Indonesia bagian timur) akibatnya kasus kehamilan dengan komplikasi lambat ditangani.


MMR pada masyarakat miskin 2-3 x lebih besar dibanding mreka yang ekonomi menengah
(Sumber: Stanton et al. 2007; Lancet Maternal Health Series Steering Group 2006; WHO 2005)

Faktor sistem jaminan kesehatan sosial atau pembiayaan kesehatan, seperti Jamkesmas atau Jampersal memang dirancang untuk membantu mereka yang berasal dari kalangan sosio-ekonomi lemah.
Banyak keputusan medis diambil terkait dengan keadaan ekonomi, contohnya, suami yang takut biaya kontrol kehamilan ke Puskesmas mahal bisa saja menganjurkan istrinya cukup memeriksakan ke dukun. (Keputusan finansial biasanya diambil oleh suami).
Atau keluarga yang takut biaya berobat mahal memilih melahirkan di rumah, tanpa ditolong tenaga medis kompeten.

Sayangnya, kenyataan di lapangan, 'porsi' atau jatah bagi mereka dari keluarga miskin juga diambil oleh orang-orang yang sesungguhnya mampu membiayai persalinan dengan alasan 'mending ambil yang gratis daripada bayar'.



Ambulans, sebagai bagian dari proses rujukan ::
perlu supir yg handal, tenaga medis kompeten yg mendampingi pasien, serta peralatan memadai

Sebelum pulang dari RSU, saya menjumpai sang suami (yang masi abege itu) duduk di tangga (nunggu istrinya selesai operasi).
Sambil mengabarkan kondisi istrinya dan juga menganjurkan untuk segera memakai alat KB. Usia kehamilan yang terlalu muda (dibawah 20 tahun) menyebabkan istrinya rawan akan komplikasi saat hamil.

Merencanakan kehamilan dengan kontrasepsi/ alat KB juga perlu supaya kehamilan berikut berjarak paling tidak 2 tahun, agar bayi yang dilahirkan kondisinya baik dan bisa bertahan hidup.

Ini momentum baik untuk memotivasi pasangan (untuk pemasangan alat KB) apalagi sang suami menyaksikan sendiri istrinya disaat kejang, berjuang melawan maut.
Eklampsia atau kejang dalam kehamilan merupakan penyebab tersering kematian ibu di negara berkembang (disamping hipertensi, perdarahan, dan infeksi).

Disebutkan dalam berita VoA tsb, diperkirakan ada 10.000 perempuan Indonesia meninggal dunia akibat komplikasi saat kehamilan dan bersalin setiap tahunnya.
Ny. F termasuk beruntung bila luput dari salahsatu penyebab kematian ibu karena kesigapan petugas, prosedur dan proses rujukan segera, sebagai bagian sistem kesehatan telah berjalan baik.

Tapi masih ada banyak ibu hamil dan bayi yang meninggal karena lemahnya faktor pendukung medis maupun non-medis tsb.

Kita, petugas kesehatan berdiri di garis depan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Tapi kami juga memerlukan dukungan masyarakat karena ini merupakan tugas kita bersama.

Masyarakat bisa membantu dengan :

* Pemberian informasi bahwa setiap kehamilan dapat beresiko, oleh karena itu setiap persalinan hendaknya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten, didukung fasilitas kesehatan.

* Dukungan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat, bahwa pembuat keputusan (suami, keluarga ; ibu mertua, bapak mertua) harus mengetahui keadaan gawat darurat saat kehamilan/ persalinan harus ditangani segera. Tidak bisa menunggu lama karena taruhannya nyawa.

* Sistem pembiayaan Jampersal mengutamakan mereka yang berasal dari status sosio-ekonomi lemah (keluarga miskin/ tidak mampu).
Jangan lah mengambil hak mereka jika kita mampu membiayai persalinan sendiri.

Banyak orang mampu mencicil motor/ mobil, tapi untuk punya bayi/anak koq pengennya gratisan.

Apakah motor/mobil kita lebih berharga daripada anak, sehingga kita tidak mau mengeluarkan biaya untuk kelahirannya?

* Perencanaan kehamilan penting supaya ibu terhindar dari resiko tinggi saat hamil/ melahirkan dan bayi yang dilahirkan sehat (keturunan yang berkualitas).

Kehamilan yang ideal hendaknya usia ibu diatas 20 tahun (terlalu muda dapat menyebabkan banyak komplikasi), dan diberi jarak paling sedikit 2 tahun dari kehamilan sebelumnya.
Kehamilan yang terlalu sering (jumlah anak lebih dari 5) juga merupakan faktor resiko untuk hipertensi dan perdarahan setelah melahirkan (postpartum hemorage) dan bayi yang dilahirkan biasanya kecil (low birth weight) serta rentan terhadap gagal nafas juga infeksi.

Resiko kematian bayi bertambah jika jarak kehamilan terlalu berdekatan
(kurang dari 24 bulan)
Sumber : www.globalhealthlearning.org

Hal lain yang menurut saya tidak kalah pentingnya adalah, pemerintah harus menginvestasikan pada pendidikan kaum perempuan/ calon ibu.

Sama seperti visi RA Kartini, pahlawan kita dan tokoh panutan saya, bahwa jika wanita diberi pendidikan yang layak maka akan terlahir keturunan yang berkualitas, secara fisik, mental dan spiritual.

Kamis, Maret 22, 2012

Angka Kematian Ibu :: Kenapa penting?

Salahsatu indikator penting dari kemajuan suatu bangsa adalah indikator kesehatan ibu, yaitu Maternal Mortality Rate atau disingkat MMR.

Definisi dari Maternal mortality rate atau Angka Kematian Ibu adalah angka kematian ibu setiap 100,000 kelahiran hidup, pada saat kehamilan atau 42 hari setelah kehamilan berakhir -yang penyebabnya berhubungan dengan kehamilan atau diperburuk oleh kehamilan dan penatalaksanaanya, tapi bukan karena sebab insidental/kecelakaan.

Masi bingung? Silakan dibaca di sumber link oleh WHO untuk definisi dalam bahasa Inggris
Definition MMR by WHO


Kenapa MMR ini bisa dijadikan sebuah indikator kesehatan?

Karena ibu atau perempuan digolongan sebagai populasi yang 'rentan' atau lemah.
Dalam suatu masyarakat yang partiarkal (seperti kebanyakan negara di Timur Tengah) dimana ada rentang besar dalam kesetaraan gender, kaum perempuan memiliki hak terbatas dibanding pria terhadap akses pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.

Sebagai akibatnya banyak anak perempuan tidak memiliki pendidikan lanjut, menikah pada usia muda, dan kehilangan hak atas alat reproduksinya; tidak bisa menentukan kapan ia ingin hamil, berapa jumlah anak yang ingin dimiliki dan seterusnya.

Perempuan juga acapkali tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi dalam keluarganya. Contohnya, keputusan untuk pergi ke layanan kesehatan mungkin diambil oleh suaminya, mertuanya atau orang lain yang lebih di'tuakan' dalam keluarga.

Di negara berkembang, faktor keterbatasan layanan kesehatan (kurangnya fasilitas kesehatan, letaknya jauh, sulit diakses oleh kendaraan) selain faktor kebudayaan dan sosial (perang antar suku, situasi politik yang tidak stabil) menyebabkan banyak ibu hamil tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan yang dia perlukan.

Sebagai perbandingan bisa kita lihat angka-angka dari kawasan timur tengah berikut:
MMR di Afghanistan adalah 1,800 (per 100,000 kelahiran hidup)
sedangkan di Mesir angkanya turun menjadi 130, Yordania dan Oman pada kisaran 62-64. Ajaibnya, masih di kawasan yang sama, negara penghasil minyak Kuwait dengan angka 4 per 100,000 kelahiran hidup -sama rendahnya seperti MMR di negara Uni Eropa (Jerman, Austria, Spanyol).
Ref: Sumber data dan statistik dari World Health Statistic, WHO 2010

Afrika bagian timur dan selatan mempunyai MMR yang tinggi, selain kawasan tersebut terkenal dengan konflik politik dan perang berkepanjangan yang menyebabkan krisis di berbagai bidang termasuk ekonomi- juga ada faktor ketidaksetaraan gender yang menyebabkan perempuan sulit mengakses layanan kesehatan.
Contohnya MMR di Sierra Leone yaitu 2,100 setiap 100,000 kelahiran hidup*
Kongo, Burundi, Malawi dan Nigeria masih mempunyai MMR yang 'lumayan' yaitu sekitar 1,100 walaupun angka tersebut sekitar 3 kali lebih tinggi dibanding MMR di Afrika Selatan (negara yang termasuk 'maju' di bagian selatan Afrika sehingga dipercaya sebagai tempat kompetisi World Cup 2010 kemarin).
* Catatan: MMR di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar angka 360

Tingginya angka MMR di sebagian kawasan Afrika juga mempunyai hubungan erat dengan prevalensi HIV yang tinggi pada daerah-daerah tersebut, terutama di masa mengidap AIDS berarti vonis mati bagi penderitanya.
Tapi seiring dengan ditemukannya obat antiretroviral (ARV) yang dapat mencegah
bertambah banyaknya jumlah virus pada orang yang terinfeksi HIV, maka banyak juga orang yang terselamatkan dari transmisi baru karena penderita HIV menjadi non-infeksius.

MMR dijadikan indikator kemajuan karena menggambarkan representasi perempuan dalam negara tersebut yang mendapat akses terhadap fasilitas; pendidikan, kesehatan dsb.
(Pendidikan seorang wanita juga menentukan status kesehatannya).
Oleh karena itulah kematian seorang ibu menunjukkan bahwa akses atau layanan kesehatan di negara tersebut tidak bisa dinikmati oleh kaum perempuan.

Intinya, MMR yang tinggi di suatu negara menggambarkan populasi wanita masih 'terpinggirkan' hingga tidak kebagian jatah dalam pembangunan (contohnya di negara berkembang spt India).
Sebaliknya MMR yang rendah di suatu negara bisa menggambarkan bahwa 'kue pembangunan' terbagi rata sehingga populasi wanita bisa menikmati fasilitas yang tersedia- termasuk akses dan sarana kesehatan untuk ibu hamil.

Jadi, bisa dibilang, kalau angka kematian ibu hanyalah sebuah hasil akhir dari efek pembangunan di dalam sebuah negara.


Apa yang membuat MMR atau angka kematian ibu ini begitu penting?

Dampak dari kematian ibu tidak hanya dirasakan oleh anak atau keluarga yang ditinggalkan, tapi juga oleh komunitas atau masyarakatnya.
Kematian ibu bisa menyebabkan anak yang ditinggalkan lebih rentan terhadap penyakit dan gizi kurang, yang selanjutnya berimbas pada angka kematian anak (terutama bila anak yang ditinggal masih kecil /dibawah usia lima tahun).
Seorang wanita dalam rentang usia masa subur bila meninggal juga akan 'terhilang' secara statistik dalam angkatan generasi produktif, sehingga menyebabkan kerugian finansial tidak langsung bagi masyarakat.

Bisa kita lihat dalam tayangan televisi atau mungkin juga dalam kehidupan sehari-hari dimana seorang ibu bila meninggal dampaknya akan terasa lebih besar bagi kelangsungan hidup anak-anaknya.


Berita VoA tanggal 18 Maret 2012 dengan tajuk 'Banyak Kasus Kematian Ibu Melahirkan Bisa Dicegah' memuat laporan tentang kasus kematian ibu oleh organisasi Doctor Without Borders, atau yang lebih dikenal dengan MSF (dalam bahasa Prancis= Medicins Sans Frontiers).

Kelompok MSF ini memang sebetulnya lebih banyak bergerak di banyak daerah dimana layanan atau fasilitas kesehatan kurang stabil contohnya pada daerah konflik/ perang, dimana ada kegawatdaruratan/ bencana alam.
Akhir tahun 2011 kemarin ada juga berita dukacita dari sukarelawan dokter MSF asal Indonesia yang meninggal saat bertugas di Somalia, yang juga termasuk daerah rawan konflik di belahan Afrika.


kehamilan bisa berjalan normal, atau dengan komplikasi
Kembali lagi ke laporan tentang kematian ibu, MSF melansir bahwa 'sedikitnya 15 persen perempuan hamil di dunia menghadapi komplikasi berisiko kematian'.


Kehamilan sendiri sebenarnya suatu proses yang normal dan alamiah yang bisa dialami setiap wanita pada umumnya tanpa komplikasi.
Tetapi sebagian wanita lebih berisiko mengalami komplikasi saat hamil dan melahirkan terutama jika mereka mengalami kehamilan di usia yang terlalu muda (dibawah umur 18 tahun), atau kehamilan pada usia yang terlalu tua (kehamilan pertama diatas usia 40 tahun), atau telah memiliki penyakit sebelumnya (memiliki tekanan darah cenderung tinggi, diabetes/ kadar gula darah tinggi, sakit jantung bawaan, gagal ginjal dst).

Lima alasan utama yang dapat menyebabkan kematian ibu menurut MSF adalah pendarahan (selama masa kehamilan atau melahirkan), sepsis atau infeksi, aborsi yang tidak aman, eklampsia atau hipertensi dalam masa kehamilan, dan kontraksi yang terganggu.

Pendarahan selama masa kehamilan atau melahirkan bisa terjadi sebelum dan sesudah bayi dikeluarkan. Penyebabnya bisa karena kehamilan yang tidak berada di tempat seharusnya (ektopik, hamil luar rahim), atau juga karena letak plasenta yang mengganggu jalan lahir.
Resiko untuk mengalami perdarahan ini bisa diketahui selama masa kehamilan jika ibu hamil rutin memeriksakan dirinya ke petugas kesehatan.
Kadang juga seorang petugas kesehatan tidak dapat mengetahui adanya resiko perdarahan hingga tiba saat melahirkan, itu sebabnya selalu dianjurkan agar ibu hamil melahirkan di fasilitas kesehatan agar hal tersebut bisa diantisipasi.


Layanan ante natal berguna untuk monitoring bumilLayanan antenatal yang dianjurkan adalah minimal 4x selama masa kehamilan
[ sumber gambar: msf.org.au ]

Sepsis/infeksi selama masa kehamilan atau melahirkan bisa disebabkan oleh ketuban pecah sebelum waktunya, persalinan yang memakan waktu terlalu lama, atau karena penggunaan alat yang tidak steril selama proses kelahiran (contoh praktek memasukan dedaunan/ramuan oleh dukun beranak untuk mempercepat persalinan).

Undang-undang aborsi yang berlaku di Indonesia saat ini sesungguhnya masih belum berpihak kepada pihak wanita. Bisa dibilang legalitas praktek aborsi di Indonesia masih dipertanyakan.
Juga sangat sedikit fasilitas aborsi yang aman, jika ada umumnya meminta biaya yang sangat tinggi kepada pasien.

Akibatnya banyak wanita memilih aborsi dengan cara yang tidak aman dan membahayakan jiwa mereka sendiri, terutama yang berasal dari kalangan ekonomi lemah.
Praktek aborsi yang masih identik dengan status 'ilegal' ini juga menyumbangkan angka kematian ibu yang tinggi di Indonesia seperti di banyak negara berkembang lainnya.

Di negara maju, seperti Singapura, Malaysia atau di beberapa kawasan Uni Eropa, aborsi legal dapat diakses oleh setiap perempuan yang membutuhkan.
Prinsip 'setiap kehamilan sebaiknya diinginkan' membuat sebagian besar orang pro terhadap kebijakan dan praktik aborsi ini.
Banyak kehamilan yang tidak diinginkan seperti contohnya pada daerah konflik, wanita hamil akibat pemerkosaan dari pihak kolonial, atau juga pasangan yang sudah menikah jika memiliki jumlah anak cukup, atau bisa karena kegagalan alat kontrasepsi.
Tanpa adanya akses terhadap layanan aborsi yang aman, kebanyakan wanita dengan kehamilan yang tak diinginkan berhadapan dengan resiko kematian akibat praktek aborsi ilegal yang tidak aman.

Eklampsia atau hipertensi dalam masa kehamilan umumnya dialami wanita dengan faktor predisposisi tertentu.
Penatalaksaan pada wanita hamil dengan hipertensi jaman sekarang sebenarnya mudah saja, selama wanita tersebut rutin memeriksakan tekanan darah selama masa kehamilan.
Sekarang pun sudah tersedia obat-obatan yang aman dikonsumsi ibu untuk menurunkan tekanan darah tinggi selama masa kehamilan dan menyusui.

Kontraksi yang terganggu dapat terjadi ketika ibu memasuki fase melahirkan.
Bila kontraksi tidak cukup untuk proses kelahiran umumnya seorang ibu dianjurkan untuk menggunakan hormon oksitosin untuk membantu kontraksi rahim.

Hormon oksitosin juga diberikan ketika bayi sudah dilahirkan tetapi plasenta masih tertinggal didalam. Normalnya, setelah bayi dikeluarkan uterus/ rahim akan mengecil dengan sendirinya karena terus berkontraksi.
Uterus/ rahim yang tidak mempunyai kontraksi/ gerakan otot yang baik maka akan sulit untuk mengecil sehingga pendarahan akan terus berlangsung.
Akibatnya, ibu melahirkan tanpa kontraksi uterus yang baik akan kehilangan sejumlah besar darah dan bisa menyebabkan kematian.

Kebanyakan kasus kematian ibu melahirkan memang bisa dicegah. BETUL.
Ini karena manusia sudah sedemikan banyak belajar dari pengalaman sebelumnya dan praktisi kesehatan jaman sekarang sudah mengetahui apa saja yang menyebabkan kematian ibu hamil.
Solusinya pun sepertinya sudah diketahui: Man (tenaga medis), Medicine (obat), dan Machine (peralatan).*

*selain itu faktor Method, Management, Money juga tidak kalah pentingnya : )

Kenyataannya, di dalam banyak daerah, seperti di kawasan rawan konflik, tenaga medis setempat mungkin sudah 'melarikan diri' untuk menyelamatkan nyawanya, dan dimana infrastruktur juga rusak karena dibom musuh, seperti yang diberitakan MSF dalam VoA.

Saya pun pernah mencoba untuk mendaftar sebagai tenaga medis MSF.
Dalam formulir pendaftaran yang bisa diisi online, calon sukarelawan memang diminta berkontemplasi tentang kesiapan mereka baik secara fisik atau mental untuk ditugaskan di berbagai daerah rawan konflik.
Mereka para sukarelawan juga harus bersedia untuk tiba-tiba ditempatkan jika mendapat panggilan.

Ini karena komitmen MSF untuk beroperasi di daerah-daerah dimana tenaga medis sangat dibutuhkan tapi infrastruktur yang ada tidak memungkinkan, seperti Afghanistan yang oleh MSF dikatakan 'salahsatu tempat yang paling berbahaya di dunia untuk melahirkan.'

Saat ini MSF menyediakan pelayanan kebidanan di sekitar 30 negara.
Bagi mereka yang tertarik menjadi bagian dari MSF, organisasi ini membuka peluang bagi sukarelawan di berbagai negara.
Pengen juga sih jadi bagian dari aksi humanitarian mereka. . .

Berikut video dari Youtube tentang salah satu kegiatan MSF dalam meningkatan kesehatan ibu (maternal health) di negara berkembang





Tapi mengingat di Indonesia sendiri masih banyak pekerjaan bisa dilakukan untuk menurunkan MMR, jadi untuk sekarang marilah kita fokuskan pada peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan bagi ibu-ibu di Indonesia terlebih dahulu :-)

Kamis, Oktober 07, 2010

Kesehatan reproduksi dan seksual

Setelah sekian lama tidak posting karena berbagai kesibukan di dunia akademis maupun kegiatan sehari-hari, akhirnya saya kembali lagi dengan topik: 'Kesehatan reproduksi dan seksual'.

Banyak orang menganggap kesehatan alat reproduksi ya sama saja dengan kesehatan secara fungsi seksual. Bisa dibilang mirip sih tapi sesungguhnya berbeda.

Owya, untuk liat tulisan tentang kenapa saya tertarik dengan topik ini, bisa dilihat di blog saya satu lagi di wordpress : klinikgratis.wordpress.com

Sedikit sekali praktisi kesehatan selain dokter spesialis obsgyn/ kulit kelamin yang memberi perhatian di bidang ini. Contoh praktisi kesehatan yang terkenal misalnya dr. Boyke, aktif di media memberikan ceramah tentang seksualitas.

Kesehatan reproduksi biasanya berhubungan dengan alat reproduksi dan fungsinya, yaitu seperti yang telah kita ketahui : untuk memberikan keturunan.
Banyak pasangan yang ingin mempunyai anak, atau tidak ingin mempunyai anak lagi akan memberi perhatian lebih pada alat reproduksinya.

Kesehatan alat reproduksi juga berkaitan dengan fungsi seksual.
Untuk kesehatan seksual, cakupannya lebih luas, bukan hanya usia yang matang untuk berkeluarga saja yang membutuhkan informasi ini, tapi juga anak-anak muda.

Anak yang masih kecil pun harus diberi pengetahuan tentang alat reproduksinya, dan mereka pun mempunyai kebutuhan 'seksual' walaupun berbeda dengan kebutuhan seksual orang yang sudah dewasa dan siap menikah.

Sebagai contoh, anak yang masih kecil mempunyai kebutuhan untuk disayang dan dibelai sebagai kebutuhan fisik. Dan biasanya ini didapatkan dari orang terdekat seperti ayah dan ibu, mungkin nenek dan kakek-nya.
Mereka juga harus diberi pengertian agar 'tidak boleh ada orang yang tidak dikenal menyentuh bagian intim kamu'.
Dan juga dijelaskan apa itu 'bagian intim' dan bagaimana cara menjaga-nya.
Ini untuk menghindarkan anak kecil dari pelecehan secara seksual dari orang dewasa.

Biasanya orang dewasa yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak kecil bisa jadi orang yang dikenalnya, seperti misalnya tetangga, teman dari keluarga.
Oleh karena itu anak sejak kecil harus diberi pengertian, siapa saja yang boleh memeluk kamu, siapa yang boleh mencium, dst.

Kebutuhan seksual anak remaja atau 'abege' juga berbeda dengan anak kecil dan orang dewasa.
Saat ini mereka sudah punya ketertarikan terhadap lawan jenis, muncul rasa ingin tahu dan 'mencoba sesuatu'.
Mereka juga harus diberi pengetahuan bagaimana menyalurkan 'ketertarikan' dan 'rasa penasaran' dengan cara yang sehat.
Mereka harus dibekali bagaimana bergaul secara sehat dengan lawan jenis, tapi juga tetap menikmati kesibukan masa mudanya.

Di banyak negara maju, anak remaja usia SMP sudah banyak diperkenalkan dengan alat kontrasepsi seperti kondom atau pil KB.
Ini untuk menghindari kejadian 'kecelakaan' atau kasus hamil pada remaja di luar nikah.

Remaja yang mengalami kehamilan di luar nikah tentu akan kehilangan masa sekolahnya karena harus sibuk menjaga anak, sementara mental mereka sendiri belum matang untuk mengurus anak.
Remaja wanita yang terlalu muda juga fungsi alat reproduksinya (rahim atau vagina) belum matang, sehingga dapat mengalami komplikasi saat melahirkan, juga rentan untuk terkena infeksi kelamin atau kanker leher rahim.

Remaja juga berhak mendapatkan informasi tentang kesehatan alat reproduksi dan seksual, agar mereka tahu bagaimana cara menghindari hal-hal yang bisa merugikan masa depan mereka.

Di Indonesia, situasinya memang berbeda dengan negara maju, kita tidak bisa membekali remaja disini dengan kondom atau pil KB untuk mencegah mereka mengalami kehamilan terlalu muda.
Tapi kita bisa membekali mereka dengan informasi yang dibutuhkan.

Nantikan ya postingan berikutnya, tentang topik ini.

Jumat, Agustus 29, 2008

Organ kewanitaan kesat=enak ?

Kalau kita meneliti, betapa banyaknya iklan di media (televisi, koran/ media cetak, internet, dsb) yang mempromosikan obat/ramuan/jamu untuk membuat organ kewanitaan/ vagina menjadi kesat sehingga disayang suami (?????) Ini adalah persepsi yang sama sekali salah di masyarakat kita, bahwa vagina yang kesat menyebabkan hubungan seksual yang lebih enak.
Anggapan seperti ini jelas tidak berlaku untuk pihak wanita, karena untuk wanita lebih nyaman jika vaginanya basah saat berhubungan seks, karena jika vagina kering atau kesat menandakan pemanasan/foreplay tidak cukup sehingga pihak wanita tidak cukup terangsang/belum siap untuk melakukan hubungan seksual.

Tapi sayangnya, entah karena sejak kecil kita sudah di-indoktrinasi oleh budaya dan media bahwa vagina kesat/kering itu sesuatu yang baik (apalagi jika ingin disayang suami ???) banyak wanita mengkonsumsi/ menggunakan produk yang bisa mengeringkan/ mengurangi produksi lendir vagina. Ramuan tradisional/ jamu-jamuan seperti ini tidak bisa dibilang aman.
Bahkan ada efek samping yang berbahaya jika terus menerus mengkonsumsi ramuan ysb selama puluhan tahun. Salah jika ada ramuan/ jamu yang mengklaim menggunakan bahan dasar alami sehingga tidak ada efek samping yang membahayakan tubuh.
Banyaknya kasus tentang ramuan/jamu yang dicampur dengan obat atau malah zat yang berbahaya jika dikonsumsi seharusnya membuat kita lebih hati-hati dengan penggunaan ramuan tradisional semacam ini.

Normalnya organ kewanitaan kita memang dirancang untuk berlendir atau basah pada saat-saat tertentu.
Wanita umumnya cenderung merasa lebih "basah" saat masa subur. Keadaan seperti ini sangat wajar dan tidak perlu pemakaian sabun sirih untuk mencuci vagina, karena setelah lewat masa subur (1-2 hari) lendir tersebut akan berkurang. Pemakaian sabun pencuci vagina yang terlalu sering malah dapat menyebabkan keputihan pada wanita, karena normalnya vagina mempunyai sistem pertahanan tersendiri yang mencegah infeksi masuk ke organ kewanitaan. Pada pemakaian sabun pencuci vagina, sistem pertahanan tersebut terganggu sehingga membuat vagina lebih rentan untuk terkena infeksi dan menyebabkan keputihan.
Keadaan terangsang atau saat hubungan seksual juga normalnya membuat vagina lebih basah karena mengeluarkan lendir. Mekanisme seperti ini memang sudah diatur oleh Yang Mahakuasa, agar saat penis memasuki vagina (yang sudah basah) saat hubungan seksual tidak menyebabkan perlukaan saat bergesekan. Gesekan saat hubungan seksual menimbulkan mikrolesi (=perlukaan kecil) hal ini sangat berbahaya jika salahsatu pasangan mempunyai penyakit kelamin atau penyakit yang ditularkan melalui darah seperti Hepatitis B dan C , juga virus imunodefisiensi pada manusia /HIV.
Disinilah pentingnya memakai pengamanan (=kondom) setiap kali melakukan hubungan seksual bukan dengan pasangan tetap kita.
Sosialisasi pemakaian kondom belum diterima sebagai sesuatu yang wajar, stigma kondom masih stigma negatif di masyarakat kita.
Akibatnya banyak kasus istri tertular penyakit dari suaminya yang suka "jajan".

Dari kasus HIV positif sendiri, sudah jelas sekali orang terinfeksi HIV tidak bisa disembuhkan seperti penyakit menular seksual lain yang bisa sembuh/hilang setelah minum obat.
Sekali orang terinfeksi HIV maka seumur hidupnya orang tersebut akan mempunyai antibodi positif terhadap HIV. [ Disebut seropositif ]
Hal semacam ini seharusnya diketahui secara luas, agar perubahan perilaku bisa diterapkan di kalangan masyarakat. Jika ingin melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang tidak kita ketahui benar latar belakangnya/ bahkan kelompok resiko tinggi seperti pekerja seksual, homoseksual/ waria, hendaknya pemakaian kondom merupakan sesuatu yang wajib.
Mitos seperti minum antibiotik sebelum hubungan seksual dapat menghindari penularan penyakit menular seksual dan HIV adalah sesuatu yang SALAH.
Sejauh ini metoda yang paling bisa diandalkan hanyalah KONDOM.
Walaupun masih banyak perdebatan bahwa efektifitas kondom belum 100 % mencegah penularan (apalagi jika kondom yang dipakai kualitasnya jelek sehingga mudah robek), tapi belum ditemukan metoda lain yang sebaik kondom.

Balik lagi ke soal vagina yang kesat lebih enak, mitos seperti ini perlu dimusnahkan seperti layaknya korupsi di pemerintahan. Sudah jelas anggapan seperti ini merugikan kaum wanita.
Dan sebagai wanita, jangan mau jadi korban media atau korban produk yang (katanya) mengatasnamakan wanita tapi sebenarnya merugikan.
Secara keseluruhan, tubuh kita sudah dirancang sedemikian sempurna oleh Yang Diatas, sehingga apa yang normal, sudah tidak seharusnya dimodifikasi lagi oleh pemakaian ramuan/jamu-jamuan untuk mengubah keadaan fisiologis tersebut.
Sebaliknya, hal tersebut malah bisa mendatangkan kerugian, atau yang paling buruknya penyakit pada tubuh kita.

Semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan.